Genre : Misteri, Melodrama
Sore
itu angin berhembus tidak terlalu kencang. Matahari masih sayup-sayup mengintip
diantara awan yang berjejer di angkasa. Cuaca yang sangat bagus untuk menantang
dunia. Begitupula yang dilakukan seorang wanita paruh baya saat dirinya melihat
mantan pengacaranya di depan minimarket. Dia menghampiri pengacara itu. Lewat
pertemuan itu, sudah banyak terbayang beribu pertanyaan yang akan dia
lontarkan. Dia sangat menunggu saat-saat ini dimana dia bisa duduk berdua
menikmati indahnya sinar matahari sore lalu membicarakan tentang kebenaran.
Rose.
Begitu pengacara itu memanggil nama wanita paruh baya yang duduk di hadapannya.
Pengacara itu mengukir senyum dengan wajah yang kecut. Seakan dia takut
berhadapan dengan mantan kliennya ini. Dibenarkannya letak duduknya sambil
sesekali melihat keluar jendela kantornya. Sang pengacara ingat betul beberapa
menit lalu dia masih di dalam minimarket dan tak percaya takdir membawa mereka
ke tempat kerjanya.
“Kudengar
putra anda akan bebas lusa ya?”
Dia
mulai membuka percakapan dengan nada suara yang dibuat setenang mungkin.
“Kurasa
anda tahu maksud kedatangan saya.” Kata Rose tersenyum lebih tenang.
“Maaf,
maksud anda?”
“Delapan
tahun yang lalu, pengacara. Saya tak pernah lupa. Ada yang anda sembunyikan dari
kasus anak saya bukan?”
Di
sudut kota kecil berdiri sebuah rumah yang tak kalah tua dengan kastil-kastil
yang pernah ada di televisi. Rumah itu didiami satu keluarga kecil. Rose dan
kedua anaknya yang bernama Viko dan Diana. Rumah itu adalah rumah peninggalan
suami Rose sebelum beliau meninggal. Beberapa tahun yang lalu, rumah itu masih
terlihat elegan. Tak seperti sekarang, tua dan bobrok. Segala yang indah dinikmati
disana hingga akhirnya Rose membawa iblis berjubah malaikat di hadapan kedua
anaknya. Ayah baru! Awalnya Viko dan Diana tak punya sesuatu yang tepat untuk
menggambarkan ayah baru mereka. Sang ayah terlihat biasa saja. Mereka pikir
sudah cukup puas melihat ibu mereka sangat menyanyangi ayah baru mereka. Bahkan
kerutan di wajah sang ibu mulai menghilang akibat ditinggal ayah kandung mereka.
Itu semua berkat Ramon. Yeah, itu nama ayah baru mereka. Saat itu Viko dan
Diana ikut senang melihatnya. Tetapi seiring waktu berjalan, mereka mulai
memahami bagaimana si malaikat berubah menjadi iblis.
“Dimana
ibu kalian?” teriak Ramon dengan suara menggelegar.
Tetapi
lidah Viko dan Diana kelu untuk menjawab pertanyaan sang ayah. Mereka terdiam
ketakutan. Ramon yang malas mengulangi pertanyaannya langsung menarik tangan
Viko dan menatapnya tajam tepat di hadapan kedua bola matanya. Nafasnya menguap
berbau alkohol. Ayah dua orang anak ini tak pernah absen dari pesta mirasnya.
“Aku
tidak tahu, Yah.” Jawab Viko ketakutan.
Ramon
merasa tidak puas mendengar jawaban anaknya. Dilemparnya Viko ke arah yang
penuh berisi peralatan dapur di sudut ruangan di sisi berlawanan tempat Diana
meringkuk. Tempat itu menjadi berantakan. Peralatan dapur menjadi berserakan.
Tak habis dengan bertingkah kasar, Ramon menendang Viko bertubi-tubi.
“Apa
perlu Ayah mengulangi pertanyaan Ayah?!”
“Ampun,
Ayah. Aku benar-benar nggak tahu”
Viko
meronta-ronta kesakitan. Sedangkan Diana menangis terisak-isak dan semakin
histeris melihat kakaknya diperlakukan seperti itu. Tetapi sang ayah tak henti
menendang tubuh Viko dan terus berteriak. Terus dan terus seperti itu hingga
membuat telinga sang adik hampir meledak. Diana yang tak tahan mendengar amukan
sang ayah, dengan hati yang geram dan mata menangis, tangannya mengambil sebuah
pisau dapur. Seperti telah tergoda dengan bisikan setan, Diana menancapkan
pisau itu ke perut ayahnya. Dengan tatapan penuh tangisan, Diana memandang
ayahnya yang kesakitan. Tangannya bergetar memegang pisau itu. Lalu dilepaskan
pisau itu dari genggamannya. Diana mundur ketakutan. Ramon tersungkur lemah.
“Ayah.”
Kata Viko terbata-bata.
Viko
bangkit dengan tubuh kesakitan. Dia melongo untuk beberapa detik. Dirinya masih
shock atas perbuatan yang dilakukan
adiknya. Lalu cepat-cepat melepaskan pisau yang menancap di perut ayahnya. Dia
tak tahu kenapa melakukan itu. Sementara itu, Rose membanting pintu dapur dan
melihat Viko memegang pisau ditangannya, lalu memandang suaminya yang lemah tak
berdaya. Sejenak Rose terdiam. Dia dirasuki percikan rasa takut walau Rose tahu
jika kejadian ini dipicu oleh kemarahan Ramon yang memang sudah menjadi
kebiasaannya. Setenang mungkin dia bergegas menggiring kedua anaknya menjauhi
Ramon. Tetapi gerakan Rose kalah cepat dengan tangan Ramon yang masih mempunyai
tenaga untuk memegang kaki Viko. Sang ibu bergegas meraba-raba sekelilingnya
dan menemukan sebuah toples kecil. Dilemparkannya ke arah Ramon. Toples itu
mengenai wajah Ramon dan terbuka. Keluar sebuah lebah dan langsung menyengat
wajah Ramon.
“Bee!”
Panggil Diana melihat hewan peliharaanya terbang bebas.
Ramon
melepaskan genggaman tangannya dan langsung merintih kesakitan. Kesempatan ini
Rose gunakan untuk lari dari iblis yang dia sebut sebagai suami.
Ada
satu penyesalan untuk Rose karena tak bisa melindungi anaknya dari jeratan
hukum. Dia yang mengira Viko sebagai pembunuh sang suami tak bisa berbuat
apa-apa saat putranya itu menolak seorang pengacara untuk mencari pembenaran.
Seorang pengacara yang disewa Rose dan sudah terlanjur menyelediki kasusnya.
Tetapi Viko menolak itu di tengah jalan. Rose tak pernah tahu alasannya. Hingga
akhirnya putra kesayangannya harus mendekam di penjara selama delapan tahun.
Dia merasa geram pada sang pengacara karena ikut bungkam tentang alasan Viko.
Dan pengacara itu kini ada di hadapannya.
“Bukan
Viko yang membunuh suami anda.” Si pengacara membuka penjelasannya dengan
hembusan nafas yang berat.
“Apa
maksud anda?”
“Ada
dua sidik jari yang membekas disana. Sidik jari Viko yang tertumpuk dengan sidik
jari Diana, putri anda.”
“Diana?
Maksud anda Diana yang membunuh Ramon?”
Pengacara
itu membenarkan letak dasinya dan membuang nafas. Lalu diambilnya secangkir
kopi yang sudah tersedia di mejanya. Dia meneguk kopi itu perlahan sambil mengatur
nafasnya.
“Diana
hanya menusuknya tetapi tidak membunuhnya.”
“Jelaskan
saja, pengacara. Jangan bertele-tele.” Rose meninggikan suaranya.
Rose
mulai tidak sabar dengan penjelasan pengacaranya yang membuatnya bingung.
“Coba
anda pikir, bagaimana kekuatan anak berusia tujuh tahun saat menusuk orang
dewasa? Tak akan menyentuh organ dalam. Dengan kata lain Ramon mati karena
kehabisan darah.”
Rose
merasa telah dicekoki ribuan tusukan jarum di hatinya. Dia mengambil langkah
gontai setelah mendengar penjelasan pengacara itu. Air matanya meleleh
seketika. Dia menangis menahan histeris. Ada banyak orang yang lalu lalang di
depan kantor si pengacara. Tetapi air matanya tak bisa terbendung lagi. Dia
meringkuk di sudut bangunan. Menangis sejadi-jadinya.
“Ada
satu fakta lagi dalam kasus ini. Mungkin memang jarang terjadi, tetapi lain
ceritanya jika Ramon mengidap alergi pada sengatan lebah dan mengalami
anafilaksis. Saya menemukan venom (cairan sengat lebah) dari hasil otopsinya.
Ini akan membuatnya sulit bergerak karena syok akibat sengatan lebah. Dia tidak
bisa menyelamatkan diri dan akhirnya kehabisan darah.” Kata-kata si pengacara
kembali terpotong karena lagi-lagi dia menarik nafasnya dengan berat.
Lalu
dilanjutkannya lagi kata-katanya.
“Dan
saya menemukan satu-satunya sidik jari dalam toples dimana banyak venom lebah
di dalamnya. Itu adalah sidik jari anda, nyonya.“
Si
pengacara memegang tangan Rose untuk menguatkan hatinya. Dia menggerakan
bibirnya lagi dan berbicara selembut mungkin.
“Viko
tak ingin saya mengungkap bahwa Diana lah yang menusuk ayahnya karena dia takut
jika akhirnya semua akan terfokus pada anda.”
Pikiran
Rose melayang kembali akan kelanjutan dari percakapannya dengan si pengacara.
Air matanya menderu hebat saat mengingatnya kembali. Andai saja dia tahu semua
ini lebih awal. Andai saja dia tidak memilih Ramon sebagai ayah bagi
anak-anaknya atau andai saja dia tidak melempar lebah itu, semua ini tak akan
terjadi. Anak kesayangannya tak akan menerima semua ini. Ya, andai saja. Tetapi
semuanya telah terlambat. Hingga beberapa menit kemudian, pipinya masih
dihujani air mata penuh penyesalan.
0 komentar:
Posting Komentar