Genre : Melodrama, Cinta
Gadis berambut hitam legam dengan poni penuh yang menutupi dahinya, dia selalu tersenyum ceria kepadaku. Aku sangat suka senyum itu. Apalagi saat dia berceloteh dengan riangnya tentang kegiatan yang dia alami hari ini. Yah, baginya aku semacam buku agenda yang setiap saat siap menampung segala cerita tentang aktivitasnya. Tapi, aku suka itu. Bagiku mendengar ocehannya setiap hari seperti mendengar bidadari bernyanyi. Hey hey, tidakkah itu berlebihan? Oke, maksudku aku suka mendengar segala ceritanya, segala keluh kesahnya, segala kebahagiaanya dan semua yang telah dia alami. Seperti pagi ini, bel masuk sekolah belum berbunyi dan dia bergegas mengambil posisi mendekat padaku. Kami memang teman sebangku di kelas. Lalu dia menatap wajahku. Celotehnya dimulai ketika dia membuka mulutnya.
Gadis berambut hitam legam dengan poni penuh yang menutupi dahinya, dia selalu tersenyum ceria kepadaku. Aku sangat suka senyum itu. Apalagi saat dia berceloteh dengan riangnya tentang kegiatan yang dia alami hari ini. Yah, baginya aku semacam buku agenda yang setiap saat siap menampung segala cerita tentang aktivitasnya. Tapi, aku suka itu. Bagiku mendengar ocehannya setiap hari seperti mendengar bidadari bernyanyi. Hey hey, tidakkah itu berlebihan? Oke, maksudku aku suka mendengar segala ceritanya, segala keluh kesahnya, segala kebahagiaanya dan semua yang telah dia alami. Seperti pagi ini, bel masuk sekolah belum berbunyi dan dia bergegas mengambil posisi mendekat padaku. Kami memang teman sebangku di kelas. Lalu dia menatap wajahku. Celotehnya dimulai ketika dia membuka mulutnya.
“Adel, kau tahu tadi aku bertemu siapa?” tanya Marsha dengan antusias.
“Abang tukang bakso yang kemarin tanya nomor handphone-mu?” jawabku sekenanya.
Marsha seketika memukul pundakku kesal. Aku meringis kesakitan lalu
memecah tawa.
“Bukan tahu!” balasnya dengan dahi berkerut kesal. “Aku ketemu cowok
cakep. Namanya Revan. Cool banget orangnya. Aku suka, Del. Pasti seru kalau
jadi pacarnya.” Lanjutnya menggebu-gebu.
“Huuu... Ngarep!” Cibirku kemudian.
Saat itu kupikir aku ikut bahagia dengan kisah asmaranya yang
berapi-api. Sepanjang aku mengenalnya, tak sekalipun aku melihatnya mengagumi
seseorang. Saat itu pun aku tak berniat untuk penasaran dengan pria yang
dikaguminya. Bagiku cukup melihat sahabat yang telah lama kukenal ini bisa
merasakan musim semi di hatinya.
“Eh, udah jadian sama Revan?”
Adel mengangguk senang. Ini kabar yang dia bawa setelah beberapa
minggu aku mendengar celotehnya mengenai “Revan”. Wajahnya merona kemerahan. Dia
cengar-cengir antara senang dan menahan malu. Ah, ini aroma orang yang sedang kasmaran.
Sejak saat itu, celotehan tentang romeonya
semakin bertambah. Hingga akhirnya, aku mulai jenuh dengan ceritanya. Lama
kelamaan aku kesal mendengarnya mengoceh tentang Revan.
“Marsha stop! Bisa nggak sih sehari aja nggak cerita tentang Revan?”
Jelas terlihat dia kaget mendengar kata-kataku. Baru kali aku
meninggikan nada bicaraku. Dia terdiam. Dia menatapku lesu. Entah kenapa aku
malah menganggapnya lucu saat dia
bersikap seperti itu. Aku jadi teringat dengan kucing peliharaanku di rumah
yang selalu memasang wajah memelas saat meminta makanan padaku. Aku tersenyum
tipis.
“Hey, jangan pasang muka seperti itu, jelek tahu!” candaku mencoba
merubuhkan suasana dingin ini.
Pernah suatu ketika aku melihatnya bergandengan tangan dengan Revan.
Tanpa sadar aku melepas genggaman kedua sepasang kekasih itu. Kemudian dengan
wajah yang bingung aku meminta maaf kepada Marsha. Entah apa yang kupikirkan
saat itu. Lalu kedua kalinya aku melihat kejadian yang sama. Hatiku seperti
tergesek gumpalan bara api. Panas. Tapi aku tidak melakukan hal konyol itu
lagi. Aku hanya diam memandangnya dari belakang dan tanpa sadar mengikuti
mereka. Ada rasa kesal dalam hatiku yang semakin bertumpuk saat semakin lama
melihat mereka melepas tawa di depanku. Saat pikiranku tak dapat menahan rasa
kesalku, tanpa sadar aku menghampiri mereka dengan sebuah kepalan tangan yang
telah kusiapkan. Aku berjalan cepat dan langsung mendorong tubuh Revan. Marsha
menghalangi tubuhku yang hendak menggapai wajah Revan dengan kepalan tinjuku.
Aku menatapnya tajam seakan-akan ingin membunuhnya. Dia yang telah merebut
sahabat terbaikku. Hey, sahabat? Aku menyebut Marsha sahabat? Tentu saja aku
ingin lebih dari itu. Aku tak mau jika hubungan kami hanya bertemu di
persimpangan jalan dengan mengatasnamakan “persahabatan”. Aku ingin lebih dan
lebih. Marsha masih menahanku. Revan sepertinya tak berniat membalas amarahku.
Apa karena aku seorang perempuan? Yang benar saja. Aku tak pernah meminta dia
menganggapku seperti itu.
“Adel, kamu kenapa sih?” Tanya Marsha sedikit meninggikan suaranya.
Dia menatapku tak kalah tajam. Hatiku berkerut takut. Takut jika dia
benci padaku dan lebih memilih kekasihnya. Tapi kucoba bersikap setenang
mungkin di depannya apalagi ada Revan di belakangnya. Kuturunkan kepalan
tinjuku. Aku kembali terduduk diam di kursi kafe tempat Marsha dan Revan duduk
tenang menyantap makan siang sebelum aku terbakar emosi. Tatapan Marsha
melemah. Dia menyentuh lembut bahuku. Sentuhan yang sangat ingin aku rasakan.
Sumber : http://yamazaki-shyn.deviantart.com/art/Remember-that-you-are-not-alone-399341886
“Del, cerita dong. Kamu ada masalah apa sama Revan?” Tanya Marsha.
Kali ini nada bicaranya lebih lembut.
Perlahan aku mengingat dari semua kejadian yang membuatku tak dapat
mengontrol diri. Khususnya antara aku dan Marsha. Saat-saat bahagia mendengar
kicauannya setiap pagi di kelas. Saat dia bertingkah manja kepadaku. Semuanya
jelas terekam dalam kamera otakku. Dan semuanya hancur karena manusia ini.
Manusia yang telah menjadikan Marsha-ku beceloteh tentang hal yang menyebalkan.
Marsha yang hanya mempunyai waktu untuk Revan. Marsha yang sekarang telah membagi
tempat di hatinya. Tidak, aku tidak ingin dia berbagi. Aku ingin dia berada di
sampingku tanpa terbagi oleh siapapun. Hey, ada apa denganku? Kenapa aku begitu
marah dengan keadaan ini? Bukankan wajar jika antara pria dan wanita menjalin
hubungan? Tapi kenapa dadaku terasa sesak saat melihat mereka bergandengan
tangan? Tidak, tidak. Bukan hanya bergandengan tangan, aku benci saat Marsha
bersamanya. Aku benci saat Marsha lebih suka menghabiskan waktu dengannya. Apa
yang terjadi padaku? Sangat menusuk hatiku. Aku menatap marsha hampa. Gadis ini
bagaimana bisa membuatku tak karuan. Bagaimana bisa?
Aku berdiri meninggalkan mereka. Marsha menangkap tanganku tapi
kulepaskan dengan mudahnya. Langkah kaki kupeercepat. Kini jarakku dengan
mereka semakin jauh. Teriakan Marsha yang memanggil namaku sudah tak terdengar
lagi. Aku memegang dada yang sudah sesak dirasuki kecemburuan. Kecemburuan yang
lagi-lagi tak dapat kumengerti. Di sudut bangunan yang entah milik siapa, aku
meringkuk. Aku mencoba memahami perasaan ini. Perasaan yang muncul secara tidak
wajar. Perasaan yang hanya aku yang dapat memahaminya. Perasaan yang mustahil
kujelaskan dengan kata-kata. Ada tanda tanya besar dalam diriku.
“Perasaan apa ini?”
0 komentar:
Posting Komentar