Jumat, 17 Desember 2021

Cerpen "Payung Hitam" by Icha

0 komentar
Genre : Horor, Misteri  

Gerimis malam yang makin tua ini menggeliat di kulit tubuhku. Tetesannya pecah ketika menghujam permukaan kulitku. Aku berteduh di salah satu pepohonan sudut jalan sambil sesekali tanganku bergerak menengadah merasakan dinginnya malam. Lalu kukatupkan kedua tanganku dan kugosok-gosokkan agar hangat bisa kurasa walau hanya sedikit. Leherku tak henti menggerakkan kepalaku diikuti bola mataku yang memutar. Kesekian kalinya aku memandang jam tanganku. Sudah jam 11 malam tapi kakakku tak kunjung datang menjemputku. Tak kupungkiri aku sedikit takut berada di tempat seperti ini. Sepi. Hanya dua tau tiga kendaraan yang lewat tiap beberapa menit.

Biasanya sepulang dari kampus aku langsung menuju halte dan menunggu bus disana. Hari ini berbeda, aku memilih bergumul di perpustakaan sampai malam karena tugasku yang makin hari makin menumpuk. Karena keisenganku yang berpikir kalau jalan kaki akan lebih cepat menemukan bus di malam hari malah membuatku terjebak di jalanan sepi dan sialnya lagi hujan tanpa permisi menggoda perjalanan pulangku. Tanpa ba-bi-bu aku menghubungi kakakku, orang satu-satunya yang mau kurepotkan. Well, disinilah aku sekarang, menunggu kakakku seorang diri.

“Hey.” Tiba-tiba aku mendengar suara di samping kananku.
“Huaaaa....” pekikku kaget setengah mati begitu menoleh ke sumber suara.

Cewek dengan kaos putih dan celana menggantung di bawah lutut berdiri di sampingku. Tinginya sekitar 160 Cm, kulitnya putih bersih. Bola matanya coklat membundar. Cantik. Tapi aku malah menatapnya takut. Ayolah, siapa yang bisa tebak ada cewek secantik ini yang berkeliaran di malam hari yang seharusnya lebih nyaman di duduk di rumah? Pikiranku menebak kalau dia hantu! Aku langsung menggeleng, menepis semua pikiran konyolku walaupun suasana saat ini mendukung atas pikiran konyolku. Cewek itu balas menatapku. Datar. Dia menyodorkan payung berwarna hitam yang dibawanya ke arahku. Dia mendekat.

“kamu nggak takut ya?” tanyanya datar.
Justru kamu yang buat aku takut!
Aku menggeleng ragu. Mulutku membisu.
“menurutku tempat ini lumayan nyeremin deh.” Cewek itu melanjutkan kata-katanya.
Bukannya yang lebih nyeremin itu kamu!
Aku menggeleng lagi dengan memepertahankan diamku.
“Mau minum teh di rumahku?” tanyanya sekali lagi.
“Apa?” pekikku spontan dan heran.
“Itu rumahku.” Gadis itu menunjuk sebuah bangunan mungil di seberang jalan. “Mau mampir?” Kali ini dia tersenyum manis.

Seolah tersihir dengan senyumannya, aku langsung mengangguk setuju tanpa meminta persutujuan dari otakku. Seketika kakiku melangkah mengiringi langkahnya. Payung hitam yang dia bawa menemani perjalanan kami. Hujan masih saja turun dengan derasnya. Kami mempercepat langkah kami hingga akhirnya sampai di bangunan mungil milik gadis itu. Dia mempersilahkanku memasuki istananya. Biarpun mungil, tapi rapi dan bersih. Apalagi aroma ruangan tamunya benar-benar harum bak di tengah taman bunga. Lantainya beralas kayu yang aku pun tak tahu jenis kayu apa, maklum deh jurusan yang kuambil tak pernah menyebutkan tentang jenis-jenis kayu. Oke, aku hanya tahu lantainya benar-benar mengkilap. Tak ada suara decitan sedikitpun.
                
“Namaku Angel, kamu?” Dia memperkenalkan diri.
“Sinta.”
                
Kami berjabatan tangan. Lalu dia pergi memasuki lebih dalam rumahnya. Yeah, tentu saja untuk menyuguhkanku secangkir teh hangat untukku. Aku duduk di sofa coklat berhias ukiran klasik. Kupandang di setiap sudut ruangan. Lagi-lagi aksesoris klasik. Semuanya terlihat klasik dan unik. Aku berdiri memeriksa lebih detail barang-barang yang terpajang. Satu per satu kusentuh barang unik itu. Jemariku mengikuti di setiap lekukannya. Dan perhatianku jatuh pada sebuah foto yang tertempel di dinding. Ada dua orang yang berwajah sama dengan Angel. Salah satunya memegang payung hitam dan bersandar pada sebuah mobil. Mungkinkah salah satunya adalah Angel? Lalu siapa yang satunya?
               
“Jangan memandang foto orang yang udah mati, nanti bakal ikut dibawa ke alamnya lho...”
“Apa?” Suara Angel mengagetkanku apalagi dengan isi perkataannya. Hampir saja foto itu terlepas dari genggamanku.
 “Bercanda kok. Ayo minum teh dulu.” Katanya tersenyum tipis.
                
Aku menuruti kata-katanya. Aku kembali duduk ke sofa setelah meletakkan fotonya. Kemudian memegang cangkir teh hangatnya. Perlahan ku teguk isinya. Hangat. Tapi ada yang aneh dengan teh ini. Baunya terasa amis. Semakin banyak aku meneguknya, semakin menyengat bau amisnya. Ku intip isi cangkirku. Darah! Tanganku reflek menjatuhkan cangkir yang kupegang. Tanganku gemetar. Segera kumuntahkan darah atau apalah yang kuminum barusan. Nafasku tersengal. Pikiranku mulai kacau. Bulu kudukku merinding. Kutatap lagi tumpahan cangkir itu. Teh! Itu bukan darah. Mataku melotot tak percaya melihatnya. kulempar pandanganku ke arah Angel. Dia tampak bingung dengan sikapku.

“kenapa, Sin?”
“Tehnya.. tehnya...” Kataku terbata-bata.
“Iya, kenapa?”
                
Aku terdiam. Pikiranku berputar entah menjadi terasa pusing. Ku hela nafasku pelan. Ku atur laju nafasku lebih teratur. Tenang. Itu semua cuma pikiran gilaku. Ini tak nyata. Aku menggumam positif. Aku menghela nafasku lagi. Lebih pelan.
               
“Sin? Kamu nggak apa-apa kan?”
“Foto siapa tadi?” Omonganku jadi ngelantur karena masih ketakutan. Aku malah menanyakan tentang foto yang tadi kupegang. Aku juga tak tahu apa hubungannya dengan foto itu, aku hanya memiliki firasat yang buruk. Seolah-seolah hal aneh yang terjadi barusan berhubungan dengan foto itu.
“Dia saudara kembarku namanya Mila.” jelas Angel pelan seperti ada yang mengganjal dalam hatinya. “Tapi dia sudah meninggal.”
                
See! Firasat burukku benar. Jangan-jangan aku sedang dijahili oleh hantu saudara kembarnya. Bodohnya aku menuruti ajakan orang yang tak kukenal hingga terdampar di rumah ini. Aku bahkan menyebutnya rumah unik! Sebaiknya aku harus cepat-cepat menginjakkan kakiku dari sini. Bulu kudukku makin lama makin merinding.
   
“Saat itu yang kuingat aku bermandi darah di dalam mobil. Saat itu hujan turun. Dan aku hanya bisa berteriak memanggil kakakku yang tak sadarkan diri.” Jelasnya pilu. Aku menelan ludah dengan berat. Antara merasa kasihan dan masih ketakutan.
                
Brak! Tiba-tiba terdengar suara pintu dibanting. Aku menoleh kaget. Kulihat seorang gadis sedang mengatupkan payung hitamnya. Aku belum bisa melihat wajahnya karena dia membelakangiku. Dengan sabar aku menunggu dia berbalik arah. Mataku melotot untuk kedua kalinya tak percaya. Dia Angel. Lalu siapa yang ada di hadapanku tadi? Aku menoleh dan melihat kosong di hadapanku. Angel menghilang. Bukan! Mungkinkah daritadi aku bersama Mila? Aku berdiri ketakutan. Langkah kakiku beranjak meninggalkan ruang tamu. Aku berlari menuju pintu keluar. Angel atau siapalah aku tak tahu memandangku bingung di hadapanku.
                
“Kau siapa?” tanyanya ketika aku semakin dekat.
               
Aku tak menghiraukannya. Rasa takutku lebih unggul untuk berkata lari sejauh mungkin! Tapi saat aku hendak melewati perbatasan ruang tamu dan halaman rumah, Gadis yang memakai jaket tebal dan celana jeans panjang itu menangkap tanganku. Aku menoleh takut. Aku benar-benar tak tahu yang dihadapanku Angel atau Mila. Atau jangan-jangan aku terlalu bodoh mempercayai cerita saudara kembar yang salah satunya meninggal? Rasanya otakku buntu dan menolak memikirkannya.
               
“Kau bertemu kakakku, Mila?”
               
Aku membisu. Tangannku memberontak ingin lepas dari genggamanku. Aku melenguh ketakutan. Air mataku ingin keluar. Aku takut sekali.
                
“Aku Angel. Tolong jangan keluar, kau pasti akan dikejar kakakku.”
“kumohon lepaskan aku.” Jeritku semakin ketakutan.
“Percayalah kau akan baik-baik saja jika bersamaku.”
                
Lagi aku tak ingin menghiraukannya. Semakin kuat aku mencoba melepaskan diri dari cengkeramannya. Aku berlari meninggalkan rumah itu setelah lepas dari genggamannya. Hujan masih turun. Tetesannya membasahi tubuhku. Baru beberapa langkah meninggalkan rumah itu, sebuah payung hitam melayang ke arahku. Aku menangkisnya dengan kedua tanganku.
                
Seberkas cahaya menyilaukan mataku. Aku menatap sumber cahaya itu. Lampu itu berasal dari sebuah mobil. Aku ingat! Mobil itu sama persis yang ada di foto. Kakiku terasa kaku ketika menyadari mobil itu melaju kencang ke arahku. Samar-sama kulihat sosok Angel tersenyum di balik bangku pengemudi. Bukan. Aku yakin dia bukan Angel. Dia Mila! Makin lama, mobil itu makin dekat denganku. Kakiku tak bisa digerakkan. Mila semakin melebarkan senyumannya.
                
“Aaaarrrrggghhhhhhh...!" 

0 komentar:

Posting Komentar