Jumat, 17 Desember 2021

Cerpen "Tea and Juice" by Icha

0 komentar
Masih dengan hari-hari yang sama. Pekerjaan yang sama. Kehidupan yang monoton. Aku sendiri tak mengerti ternyata bisa bertahan dengan kehidupan seperti ini. Mungkin karena terlalu cukup bagiku. Namaku Nino Setiawan. Panggil saja aku Nino. Aku mempunyai keluarga yang utuh. Ayah, ibu dan dua orang adik yang duduk di bangku sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Aku juga tidak sulit untuk mencari teman. Pendidikanku memadai. Aku terdaftar sebagai mahasiswa fakultas perhotelan di salah satu universitas. Lalu ditambah bekerja paruh waktu di sebuah kedai teh karena aku mengambil kelas sore untuk jadwal kuliahku. Bukan karena orang tuaku tak mampu membiayai kuliahku tapi karena aku tak cukup dengan menuntut ilmu kemudian duduk manis di rumah mengerjakan tugas-tugas layaknya anak kuliahan lainnya. Aku ingin mengasah lebih kemampuanku. Lagipula pekerjaanku ini tak jauh dari tema fakultasku bukan?

Hingga akhirnya aku bertemu dengan seorang gadis bernama Tara. Hidupku mendapat sedikit percikan warna lain. Dia pelangganku di kedai teh yang cukup cantik. Tapi gayanya bisa dibilang kekanak-kanakan untuk ukuran anak kuliahan. Selalu saja kutemukan dia memakai gaun pendek berenda, berwarna cerah. Terlihat manis memang. Apalagi saat dia mengeluh karena pria pujaannya tak kunjung datang. Ya, alasan satu-satunya dia datang ke kedai teh karena dia memuja Arsya, salah satu pelayan di kedai teh ini.
 
“Udah kubilang kan Arsya shift sore.” Jelasku padanya tiap kali dia mengeluh.
 “Bodo!” katanya masih dengan nada yang sama. Jutek.
“Kenapa nggak datang malem aja sih?”
“Aku ada les tiap malem.”
“Kayak anak sd aja pakai les segala.”
“Bawel ah suka-suka aku dong!”

Karena tiap kali aku yang menyeduh teh untuknya, lama-lama kami jadi banyak ngobrol. Gaya khasnya yang jutek, aku suka. Tapi selalu bersikap manis ketika menatap Arsya walau dari kejauhan. Dasar cewek! Yah, tau sendiri kan gadis ini cuma pemuja. Tak pernah sekalipun melambaikan tangan untuk sekedar mengucap kata “hai” kepada Arsya. Dia terlalu payah dalam urusan PDKT.
            
Lagi aku berjalan menuju mejanya. Dengan seragam putih berhias dasi berbentuk pita lalu disandingkan dengan celana hitam, tanganku lihai membawa secangkir minuman. Tapi kali ini aku tak menyeduh teh untuknya. Aku sengaja membuatkan secangkir jus mangga.
            
“Apa ini?” tanyanya bingung tak melihat teh yang biasa dia pesan.
“Anak kecil aja tau kalau ini jus mangga.” Jawabku sekenanya.
“Nggak ada dalam menu kan?”
“Aku kasian tehnya.”
“Loh kenapa?”
“Hey, kamu selalu nyisain teh dalam cangkirmu. Kalau nggak suka teh kenapa masih dipaksain?”
“Ih... bukan urusanmu...”
“Kalau nggak mau ya udah aku buang aja.” Tanganku cepat-cepat mengambil cangkir yang ada di atas meja.
“Eh jangan...”

Tara merebut cangkir itu. Aku tersenyum geli. Lalu tanpa ragu gadis manis ini meneguknya perlahan. Setengah gelas telah masuk dalam perutnya. Dia meluangkan waktu memandangku. Bukannya aku geer tapi dia benar-benar memandangku dengan senyuman yang baru kali ini kulihat. Manis banget.

“Makasih ya...”
“Bayar dua kali lipat tuh.”
“Masih aja nyebelin.”
“Hahaha...” Tawaku langsung meledak.

Sejak saat itu, aku menyajikan jus mangga untuknya. Masih dengan harga yang sama agar tak ketahuan dengan pemilik kedai. Aku juga meminta teman-teman sesama pelayan untuk memakluminya. Jari telunjukku tak henti menempel di bibir tiap kali mengantar jus itu ke meja Tara. Teman-temanku menyambutnya dengan tertawa geli. Aku ini memang konyol.

“Kalau ketahuan sama bosmu gimana?” tanya Tara tiba-tiba.
“Hmmm... paling cuma dipecat.”
“Cuma? Jangan bercanda!”
So what?” seruku cuek.
“Eh tapi kayaknya kamu lebih cocok buat jus mangga deh... Gila enak banget!”
“Itu sih maunya kamu.” Cibirku.
“Beneran!” katanya kesal.

Ternyata ada yang lebih membuat hidupku lebih berwarna daripada mengenal Tara. Aku dipecat! Apalagi kalau bukan karena persoalan yang keluar dari menu. Rahasiaku tak selamanya jadi rahasia. Beberapa minggu setelah itu, bos memergokiku membuat jus mangga. Padahal bos tak pernah ke kedai kalau bukan akhir bulan.Dengan bodohnya aku mengaku. Aku menceritakan semuanya pada bos. Mungkin aku dilahirkan sebagai anak yang jujur. Antara rasa menyesal dan yah.. entahlah. Aku bingung harus mengucapkan kata apa di depan bos untuk membela diri. Aku pasrah didepak dari bangunan itu.

Ada rindu dalam kedai teh itu. Banyak kenangan yang kuukir disana. Memang cuma setahun aku berkerja disana tapi Tara menambah berjuta dari deretan kenangan itu. Tanpa sadar aku ikut merindukan gadis manis itu. Bukan, dia bukan gadis manis. Dia gadis jutek. Dia cuma tersenyum padaku satu kali. Arghhh... Kenapa sekarang aku membahas Tara? Sudah dua hari aku tergeletak di rumah tiap pagi sampai sore. Sesekali ku acak-acak kertas koran mencari baris lowongan kerja. Hasilnya masih nihil. Aku masih menganggur.

Bel pintu berbunyi. Aku bangkit dari tempat tidurku. Kupercepat laju langkahku ketika suara bel semakin cepat berbunyi. Ku tarik daun pintu dengan tergesa-gesa. Kepalaku menyembul keluar. Mataku beradu dengan gadis manis berbalut gaun berenda. Itu Tara. Dia yang berkunjung di rumahku.

“Hey, ngapain disini?” tanyaku kaget.
“Aku kan? Gara-gara aku, kamu dipecat.” Pertanyaannya langsung menyerang telingaku. Matanya memerah.
“Nggak juga kok!” kataku menenangkannya.
“Aku dengar kok dari Arsya.”
“Hebat! Udah berani ngobrol sama Arsya. Kemajuan dong!”
“Apanya yang hebat! Aku pengennya ngobrol sama kamu.”
“Udah nggak naksir sama Arsya?” tanyaku polos. Dahiku berkerut tak mengerti.
“Aku.. Aku...” Tiba-tiba kata-kata terputus.

Aku menunggu kelanjutan kata-katanya dengan kening berkerut.

"Aku...." Dia kembali membuka suaranya, tapi tetap saja terhenti pada satu kata.

Keningku semakin berkerut bingung. Kutatap wajahnya yang memerah. Mungkinkah dia mendadak demam? Kusentuh keningnya lembut. Tara mendongak lalu menatap wajahku dengan membelalakkan mata.

"Apa?"  Dia menghentak kakinya mundur selangkah dari hadapanku dengan wajah kaget. Wajahnya semakin memerah, tetapi aku tak mau kalah cepat dengan hentakan kakinya. Ku tangkap tangannya dan kutarik kembali ke posisi awal.

"Hey.." panggilku dengan melebarkan senyum.
"Apa?" 
"Udah nggak naksir sama Arsya?” Aku mengulangi pertanyaanku kembali.

Tara hanya mengangguk.

"Jadi siapa yang membuatmu berpaling dari Arsya? Aku penasaran seperti apa orangnya." Lalu kutarik nafasku membiarkan oksigen mengisi paru-paru agar bisa melanjutkan ocehanku. Aku mendekatkan wajahku ke wajahnya, mengintip betapa manisnya gadis ini. "Apa seperti orang yang pandai membuat jus mangga lalu akhirnya dia dipecat? seperti itu?" Aku tersenyum jahil.

Tara memukul pundakku kesal dengan memecah senyum di bibirnya. Aku meringis kemudian tertawa senang. 

"Hey.." panggilku dengan suara lembut.
"Eum.." Dia menggumam membalas panggilanku.
"Mau kubuatkan segelas jus?"

Dia terdiam lalu mengangguk malu. Lagi aku mengukir senyumku. 

Jadi tak ada ruginya dipecat dari kedai itu bukan? Hidup itu adil. Kalau memang saat ini aku harus bersedih karena dipecat tapi aku mempunyai kebahagiaan yang menghapuskan kesedihan itu. Kebahagiaan karena peri cupid menancapkan panah kecilnya kepada kami lewat kedai teh. Dan kurasa mulai saat ini tak ada kamus monoton lagi dalam hidupku.
Read more...

Cerpen "Mohon Bunuh Dia" by Icha

0 komentar
Genre : Misteri, Melodrama


Sore itu angin berhembus tidak terlalu kencang. Matahari masih sayup-sayup mengintip diantara awan yang berjejer di angkasa. Cuaca yang sangat bagus untuk menantang dunia. Begitupula yang dilakukan seorang wanita paruh baya saat dirinya melihat mantan pengacaranya di depan minimarket. Dia menghampiri pengacara itu. Lewat pertemuan itu, sudah banyak terbayang beribu pertanyaan yang akan dia lontarkan. Dia sangat menunggu saat-saat ini dimana dia bisa duduk berdua menikmati indahnya sinar matahari sore lalu membicarakan tentang kebenaran.

Rose. Begitu pengacara itu memanggil nama wanita paruh baya yang duduk di hadapannya. Pengacara itu mengukir senyum dengan wajah yang kecut. Seakan dia takut berhadapan dengan mantan kliennya ini. Dibenarkannya letak duduknya sambil sesekali melihat keluar jendela kantornya. Sang pengacara ingat betul beberapa menit lalu dia masih di dalam minimarket dan tak percaya takdir membawa mereka ke tempat kerjanya.

“Kudengar putra anda akan bebas lusa ya?”

Dia mulai membuka percakapan dengan nada suara yang dibuat setenang mungkin.

“Kurasa anda tahu maksud kedatangan saya.” Kata Rose tersenyum lebih tenang.
“Maaf, maksud anda?”
“Delapan tahun yang lalu, pengacara. Saya tak pernah lupa. Ada yang anda sembunyikan dari kasus anak saya bukan?”

Di sudut kota kecil berdiri sebuah rumah yang tak kalah tua dengan kastil-kastil yang pernah ada di televisi. Rumah itu didiami satu keluarga kecil. Rose dan kedua anaknya yang bernama Viko dan Diana. Rumah itu adalah rumah peninggalan suami Rose sebelum beliau meninggal. Beberapa tahun yang lalu, rumah itu masih terlihat elegan. Tak seperti sekarang, tua dan bobrok. Segala yang indah dinikmati disana hingga akhirnya Rose membawa iblis berjubah malaikat di hadapan kedua anaknya. Ayah baru! Awalnya Viko dan Diana tak punya sesuatu yang tepat untuk menggambarkan ayah baru mereka. Sang ayah terlihat biasa saja. Mereka pikir sudah cukup puas melihat ibu mereka sangat menyanyangi ayah baru mereka. Bahkan kerutan di wajah sang ibu mulai menghilang akibat ditinggal ayah kandung mereka. Itu semua berkat Ramon. Yeah, itu nama ayah baru mereka. Saat itu Viko dan Diana ikut senang melihatnya. Tetapi seiring waktu berjalan, mereka mulai memahami bagaimana si malaikat berubah menjadi iblis.

“Dimana ibu kalian?” teriak Ramon dengan suara menggelegar.

Tetapi lidah Viko dan Diana kelu untuk menjawab pertanyaan sang ayah. Mereka terdiam ketakutan. Ramon yang malas mengulangi pertanyaannya langsung menarik tangan Viko dan menatapnya tajam tepat di hadapan kedua bola matanya. Nafasnya menguap berbau alkohol. Ayah dua orang anak ini tak pernah absen dari pesta mirasnya.

“Aku tidak tahu, Yah.” Jawab Viko ketakutan.

Ramon merasa tidak puas mendengar jawaban anaknya. Dilemparnya Viko ke arah yang penuh berisi peralatan dapur di sudut ruangan di sisi berlawanan tempat Diana meringkuk. Tempat itu menjadi berantakan. Peralatan dapur menjadi berserakan. Tak habis dengan bertingkah kasar, Ramon menendang Viko bertubi-tubi.

“Apa perlu Ayah mengulangi pertanyaan Ayah?!”
“Ampun, Ayah. Aku benar-benar nggak tahu”

Viko meronta-ronta kesakitan. Sedangkan Diana menangis terisak-isak dan semakin histeris melihat kakaknya diperlakukan seperti itu. Tetapi sang ayah tak henti menendang tubuh Viko dan terus berteriak. Terus dan terus seperti itu hingga membuat telinga sang adik hampir meledak. Diana yang tak tahan mendengar amukan sang ayah, dengan hati yang geram dan mata menangis, tangannya mengambil sebuah pisau dapur. Seperti telah tergoda dengan bisikan setan, Diana menancapkan pisau itu ke perut ayahnya. Dengan tatapan penuh tangisan, Diana memandang ayahnya yang kesakitan. Tangannya bergetar memegang pisau itu. Lalu dilepaskan pisau itu dari genggamannya. Diana mundur ketakutan. Ramon tersungkur lemah.

“Ayah.” Kata Viko terbata-bata.

Viko bangkit dengan tubuh kesakitan. Dia melongo untuk beberapa detik. Dirinya masih shock atas perbuatan yang dilakukan adiknya. Lalu cepat-cepat melepaskan pisau yang menancap di perut ayahnya. Dia tak tahu kenapa melakukan itu. Sementara itu, Rose membanting pintu dapur dan melihat Viko memegang pisau ditangannya, lalu memandang suaminya yang lemah tak berdaya. Sejenak Rose terdiam. Dia dirasuki percikan rasa takut walau Rose tahu jika kejadian ini dipicu oleh kemarahan Ramon yang memang sudah menjadi kebiasaannya. Setenang mungkin dia bergegas menggiring kedua anaknya menjauhi Ramon. Tetapi gerakan Rose kalah cepat dengan tangan Ramon yang masih mempunyai tenaga untuk memegang kaki Viko. Sang ibu bergegas meraba-raba sekelilingnya dan menemukan sebuah toples kecil. Dilemparkannya ke arah Ramon. Toples itu mengenai wajah Ramon dan terbuka. Keluar sebuah lebah dan langsung menyengat wajah Ramon.

“Bee!” Panggil Diana melihat hewan peliharaanya terbang bebas.

Ramon melepaskan genggaman tangannya dan langsung merintih kesakitan. Kesempatan ini Rose gunakan untuk lari dari iblis yang dia sebut sebagai suami.

Ada satu penyesalan untuk Rose karena tak bisa melindungi anaknya dari jeratan hukum. Dia yang mengira Viko sebagai pembunuh sang suami tak bisa berbuat apa-apa saat putranya itu menolak seorang pengacara untuk mencari pembenaran. Seorang pengacara yang disewa Rose dan sudah terlanjur menyelediki kasusnya. Tetapi Viko menolak itu di tengah jalan. Rose tak pernah tahu alasannya. Hingga akhirnya putra kesayangannya harus mendekam di penjara selama delapan tahun. Dia merasa geram pada sang pengacara karena ikut bungkam tentang alasan Viko. Dan pengacara itu kini ada di hadapannya.

“Bukan Viko yang membunuh suami anda.” Si pengacara membuka penjelasannya dengan hembusan nafas yang berat.
“Apa maksud anda?”
“Ada dua sidik jari yang membekas disana. Sidik jari Viko yang tertumpuk dengan sidik jari Diana, putri anda.”
“Diana? Maksud anda Diana yang membunuh Ramon?”

Pengacara itu membenarkan letak dasinya dan membuang nafas. Lalu diambilnya secangkir kopi yang sudah tersedia di mejanya. Dia meneguk kopi itu perlahan sambil mengatur nafasnya.

“Diana hanya menusuknya tetapi tidak membunuhnya.”
“Jelaskan saja, pengacara. Jangan bertele-tele.” Rose meninggikan suaranya.

Rose mulai tidak sabar dengan penjelasan pengacaranya yang membuatnya bingung.

“Coba anda pikir, bagaimana kekuatan anak berusia tujuh tahun saat menusuk orang dewasa? Tak akan menyentuh organ dalam. Dengan kata lain Ramon mati karena kehabisan darah.”

Rose merasa telah dicekoki ribuan tusukan jarum di hatinya. Dia mengambil langkah gontai setelah mendengar penjelasan pengacara itu. Air matanya meleleh seketika. Dia menangis menahan histeris. Ada banyak orang yang lalu lalang di depan kantor si pengacara. Tetapi air matanya tak bisa terbendung lagi. Dia meringkuk di sudut bangunan. Menangis sejadi-jadinya.

“Ada satu fakta lagi dalam kasus ini. Mungkin memang jarang terjadi, tetapi lain ceritanya jika Ramon mengidap alergi pada sengatan lebah dan mengalami anafilaksis. Saya menemukan venom (cairan sengat lebah) dari hasil otopsinya. Ini akan membuatnya sulit bergerak karena syok akibat sengatan lebah. Dia tidak bisa menyelamatkan diri dan akhirnya kehabisan darah.” Kata-kata si pengacara kembali terpotong karena lagi-lagi dia menarik nafasnya dengan berat.

Lalu dilanjutkannya lagi kata-katanya.

“Dan saya menemukan satu-satunya sidik jari dalam toples dimana banyak venom lebah di dalamnya. Itu adalah sidik jari anda, nyonya.“

Si pengacara memegang tangan Rose untuk menguatkan hatinya. Dia menggerakan bibirnya lagi dan berbicara selembut mungkin.

“Viko tak ingin saya mengungkap bahwa Diana lah yang menusuk ayahnya karena dia takut jika akhirnya semua akan terfokus pada anda.”

Pikiran Rose melayang kembali akan kelanjutan dari percakapannya dengan si pengacara. Air matanya menderu hebat saat mengingatnya kembali. Andai saja dia tahu semua ini lebih awal. Andai saja dia tidak memilih Ramon sebagai ayah bagi anak-anaknya atau andai saja dia tidak melempar lebah itu, semua ini tak akan terjadi. Anak kesayangannya tak akan menerima semua ini. Ya, andai saja. Tetapi semuanya telah terlambat. Hingga beberapa menit kemudian, pipinya masih dihujani air mata penuh penyesalan.

*anafilaksis = reaksi alergi yang cepat yang disertai syok pada 15 menit pertama setelah venom dikeluarkan dari kantungnya dan masuk ke dalam organ tubuh.
Read more...

Cerpen "Rasa Ini" by Icha

0 komentar
Genre : Melodrama, Cinta

Gadis berambut hitam legam dengan poni penuh yang menutupi dahinya, dia selalu tersenyum ceria kepadaku. Aku sangat suka senyum itu. Apalagi saat dia berceloteh dengan riangnya tentang kegiatan yang dia alami hari ini. Yah, baginya aku semacam buku agenda yang setiap saat siap menampung segala cerita tentang aktivitasnya. Tapi, aku suka itu. Bagiku mendengar ocehannya setiap hari seperti mendengar bidadari bernyanyi. Hey hey, tidakkah itu berlebihan? Oke, maksudku aku suka mendengar segala ceritanya, segala keluh kesahnya, segala kebahagiaanya dan semua yang telah dia alami. Seperti pagi ini, bel masuk sekolah belum berbunyi dan dia bergegas mengambil posisi mendekat padaku. Kami memang teman sebangku di kelas. Lalu dia menatap wajahku. Celotehnya dimulai ketika dia membuka mulutnya.

“Adel, kau tahu tadi aku bertemu siapa?” tanya Marsha dengan antusias.
“Abang tukang bakso yang kemarin tanya nomor handphone-mu?” jawabku sekenanya.
               
Marsha seketika memukul pundakku kesal. Aku meringis kesakitan lalu memecah tawa.
               
“Bukan tahu!” balasnya dengan dahi berkerut kesal. “Aku ketemu cowok cakep. Namanya Revan. Cool banget orangnya. Aku suka, Del. Pasti seru kalau jadi pacarnya.” Lanjutnya menggebu-gebu.
“Huuu... Ngarep!” Cibirku kemudian.

Saat itu kupikir aku ikut bahagia dengan kisah asmaranya yang berapi-api. Sepanjang aku mengenalnya, tak sekalipun aku melihatnya mengagumi seseorang. Saat itu pun aku tak berniat untuk penasaran dengan pria yang dikaguminya. Bagiku cukup melihat sahabat yang telah lama kukenal ini bisa merasakan musim semi di hatinya.

“Eh, udah jadian sama Revan?”

Adel mengangguk senang. Ini kabar yang dia bawa setelah beberapa minggu aku mendengar celotehnya mengenai “Revan”. Wajahnya merona kemerahan. Dia cengar-cengir antara senang dan menahan malu. Ah, ini aroma orang yang sedang kasmaran.  Sejak saat itu, celotehan tentang romeonya semakin bertambah. Hingga akhirnya, aku mulai jenuh dengan ceritanya. Lama kelamaan aku kesal mendengarnya mengoceh tentang Revan.

“Marsha stop! Bisa nggak sih sehari aja nggak cerita tentang Revan?”

Jelas terlihat dia kaget mendengar kata-kataku. Baru kali aku meninggikan nada bicaraku. Dia terdiam. Dia menatapku lesu. Entah kenapa aku malah  menganggapnya lucu saat dia bersikap seperti itu. Aku jadi teringat dengan kucing peliharaanku di rumah yang selalu memasang wajah memelas saat meminta makanan padaku. Aku tersenyum tipis.

“Hey, jangan pasang muka seperti itu, jelek tahu!” candaku mencoba merubuhkan suasana dingin ini.

Pernah suatu ketika aku melihatnya bergandengan tangan dengan Revan. Tanpa sadar aku melepas genggaman kedua sepasang kekasih itu. Kemudian dengan wajah yang bingung aku meminta maaf kepada Marsha. Entah apa yang kupikirkan saat itu. Lalu kedua kalinya aku melihat kejadian yang sama. Hatiku seperti tergesek gumpalan bara api. Panas. Tapi aku tidak melakukan hal konyol itu lagi. Aku hanya diam memandangnya dari belakang dan tanpa sadar mengikuti mereka. Ada rasa kesal dalam hatiku yang semakin bertumpuk saat semakin lama melihat mereka melepas tawa di depanku. Saat pikiranku tak dapat menahan rasa kesalku, tanpa sadar aku menghampiri mereka dengan sebuah kepalan tangan yang telah kusiapkan. Aku berjalan cepat dan langsung mendorong tubuh Revan. Marsha menghalangi tubuhku yang hendak menggapai wajah Revan dengan kepalan tinjuku. Aku menatapnya tajam seakan-akan ingin membunuhnya. Dia yang telah merebut sahabat terbaikku. Hey, sahabat? Aku menyebut Marsha sahabat? Tentu saja aku ingin lebih dari itu. Aku tak mau jika hubungan kami hanya bertemu di persimpangan jalan dengan mengatasnamakan “persahabatan”. Aku ingin lebih dan lebih. Marsha masih menahanku. Revan sepertinya tak berniat membalas amarahku. Apa karena aku seorang perempuan? Yang benar saja. Aku tak pernah meminta dia menganggapku seperti itu.

“Adel, kamu kenapa sih?” Tanya Marsha sedikit meninggikan suaranya.

Dia menatapku tak kalah tajam. Hatiku berkerut takut. Takut jika dia benci padaku dan lebih memilih kekasihnya. Tapi kucoba bersikap setenang mungkin di depannya apalagi ada Revan di belakangnya. Kuturunkan kepalan tinjuku. Aku kembali terduduk diam di kursi kafe tempat Marsha dan Revan duduk tenang menyantap makan siang sebelum aku terbakar emosi. Tatapan Marsha melemah. Dia menyentuh lembut bahuku. Sentuhan yang sangat ingin aku rasakan.

Sumber : http://yamazaki-shyn.deviantart.com/art/Remember-that-you-are-not-alone-399341886

“Del, cerita dong. Kamu ada masalah apa sama Revan?” Tanya Marsha. Kali ini nada bicaranya lebih lembut.

Perlahan aku mengingat dari semua kejadian yang membuatku tak dapat mengontrol diri. Khususnya antara aku dan Marsha. Saat-saat bahagia mendengar kicauannya setiap pagi di kelas. Saat dia bertingkah manja kepadaku. Semuanya jelas terekam dalam kamera otakku. Dan semuanya hancur karena manusia ini. Manusia yang telah menjadikan Marsha-ku beceloteh tentang hal yang menyebalkan. Marsha yang hanya mempunyai waktu untuk Revan. Marsha yang sekarang telah membagi tempat di hatinya. Tidak, aku tidak ingin dia berbagi. Aku ingin dia berada di sampingku tanpa terbagi oleh siapapun. Hey, ada apa denganku? Kenapa aku begitu marah dengan keadaan ini? Bukankan wajar jika antara pria dan wanita menjalin hubungan? Tapi kenapa dadaku terasa sesak saat melihat mereka bergandengan tangan? Tidak, tidak. Bukan hanya bergandengan tangan, aku benci saat Marsha bersamanya. Aku benci saat Marsha lebih suka menghabiskan waktu dengannya. Apa yang terjadi padaku? Sangat menusuk hatiku. Aku menatap marsha hampa. Gadis ini bagaimana bisa membuatku tak karuan. Bagaimana bisa?

Aku berdiri meninggalkan mereka. Marsha menangkap tanganku tapi kulepaskan dengan mudahnya. Langkah kaki kupeercepat. Kini jarakku dengan mereka semakin jauh. Teriakan Marsha yang memanggil namaku sudah tak terdengar lagi. Aku memegang dada yang sudah sesak dirasuki kecemburuan. Kecemburuan yang lagi-lagi tak dapat kumengerti. Di sudut bangunan yang entah milik siapa, aku meringkuk. Aku mencoba memahami perasaan ini. Perasaan yang muncul secara tidak wajar. Perasaan yang hanya aku yang dapat memahaminya. Perasaan yang mustahil kujelaskan dengan kata-kata. Ada tanda tanya besar dalam diriku.

“Perasaan apa ini?”

Read more...

Cerpen "Insomnia" by Icha

0 komentar
Genre : Misteri

Sudah seminggu ini mataku selalu terpejamkan lewat dari jam tiga pagi. Aku sendiri entah tak bisa menemukan alasan imsomniaku yang terbilang mendadak ini. Tidak ada indikasi yang membuatku untuk tetap membuka mata. Kesibukanku juga tak bisa dibilang untuk terus terjaga. Wong aku Cuma anak kuliahan yang kerjaannya haha-hihi tak jelas. Lagipula tak ada yang kulakukan selain mendengarkan musik tiap kali kantuk tak mau mendekati. Ahh.. ada apa denganku? Tak pernah terjadi seperti ini sebelumnya.

Malam ini.. bukan! Lebih tepatnya pagi ini, aku masih terduduk manis di kasur menyelipkan earphone. Kabelnya terhubung dengan handphone nokia tipe n70 milikku yang kudapatkan dari pemberian cuma-cuma kakak perempuanku. Bukan termasuk handphone yang menjadi tren tahun ini kurasa. Alunan musik berdentam keras di sudut telingaku. Aku sengaja memutar lagu-lagu yang sedikit slow. Mungkin saja dengan cara ini aku bisa mengundang rasa kantuk. Kubalut tubuhku dengan sehelai kain selimut. Hangat juga dingin karena AC tetap kunyalakan. Lampu masih kupersilahkan untuk tetap hidup. Kusandarkan tubuhku dekat tembok. Aku menatap langit-langit kamar. Aku teringat kata seorang dokter yang kukunjungi tadi sore.

Seorang laki-laki separuh baya berpakaian putih mempersilahkanku duduk di meja kerjanya. Dia dokter yang akan mencongkel imsomniaku. Kuharap berhasil.  Dokter itu memeriksa mataku dengan alat yang mirip senter atau benda itu memanglah senter aku tak tahu. Lalu dia menyuruhku membuka mulut. Yang kulakukan seperti dalam film-film, kurasa hampir mirip. Dokter itu menempelkan stetoskop saat aku memasuki ruang praktinya. Aku sih menurut saja.

“Aku sakit apa, Dok?” kataku setelah tahu dokter yang dihadapanku ini telah menyelesaikan ritualnya.
“Mungkin ini yang sakit.” Si dokter mengetuk-ngetukkan dahinya sambil tersenyum.
“Maksud dokter aku sakit jiwa?”
“Hahaha... bukan begitu maksudku. Banyak faktor penyebab insomnia. Jika kau tak mengkonsumsi kopi atau bahan kafein lainnya. Dan lagi kau tak pernah tidur siang. Mungkin ada hal yang mengganjal dalam pikiranmu. Coba selesaikanlah.”

Tapi apa? Sejauh ini hidupku normal-normal saja. Tak ada gangguan yang mengusik pikranku. Keluarga, teman, pacar semuanya menyapaku hangat. Aku juga bukan anak nakal yang setiap kali bercita-cita membuat onar di lingkunganku. Aku seorang perempuan yang biasa-biasa saja. Kegiatanku juga biasa saja. pergi ke mall, hunting baju dan aksesorisnya sampai kartu kreditku jebol. Hey tapi jangan pikir aku tak bisa membayar tagihannya. Di kampus walau IP-ku pas-pas-an aku tak pernah menyesali takdirku sebagai pemilik otak yang pas-pas-an. Aku juga bukan korban dari kasus keluarga broken home. Lalu apa yang salah denganku?

Ah aku ingat! Rasanya imsomniaku muncul saat ayah pamit padaku untuk pergi keluar kota menyelesaikan urusan pekerjaan. Sekitar seminggu lalu. Tepat! Tapi apa hubungannya dengan ayah? Bukankah ayah sudah seringkali bolak-balik keluar kota untuk menghadiahkan bosnya keberhasilan proyek perusahaannya. Ataukah aku rindu pada ayah sehingga merasa gelisah tiap kali ingin tidur? Aku terus bertanya-tanya dalam hati. Kusandarkan dahuku ke atas kedua lutut yang kutekuk.

Pagi ini kuhabiskan untuk menguras pikiran otakku. Obat tidur yang diberikan oleh dokter sudah sejak tadi kubiarkan tergeletak di atas meja di samping tempat tidurku. Aku belum ingin meminumnya. Ahh.. tapi tak baik juga kalau aku terus-terusan tidur pagi. Pikirankun langsung berubah. Ku raih segelas air putih dan obat tidur yang memang telah kupersiapkan. Kutelan keduanya bersamanya. Hanya butuh waktu beberapa menit kantuk mulai menggrogoti. Aku pun terlelap tidur.

Entah setan apa yang hinggap dipikiranku. Aku tiba-tiba merengek ingin ikut hiking yang diadakan organisasi pecinta alam di kampusku. Jaraknya cukup jauh mungkin harus makan waktu sekitar lima jam menggunakan mobil box. Ini penampilan perdanaku sebagai seorang pecinta alam. Ku sematkan ranselku di punggungku. Ku balut tubuhku dengan jaket super tebal. Kuikat rambut ke atas agar tak terurai berantakan. Kupikir tidak ada buruknya. Itung-itung untuk merefresh pikiranku. Syukur kalau bisa menghilangkan imsomniaku.

Mataku terus mengikuti jejak langkah orang-orang yang berbaris rapi didepanku. Mereka para senior yang lebih berpengalaman dalam mendaki gunung. Katanya sih gitu. Ketika mereka memberikan informasi cara dan larangan dalam mendaki gunung, aku tersenyum sambil manggut-manggut. Padahal aku nggak ngeh dengan penjelasan mereka. Yang kuingat hanya perkataan dari satu senior.

“Pokoknya jangan sampai terpisah dari rombongan. Pastikan pikiran tidak kosong.” Teriak senior yang menurutku paling cakep di antara semuanya.

Ok, lupakan soal itu. Aku masih fokus dengan langkah kakiku. Menyelaraskan langkahku agar seirama dengan mereka. Walau kuakui kakiku sudah merasa pegal bukan main. Maklumlah aku baru pertama kali ini berjalan kaki ribuan meter. Aku coba untuk bertahan. Makin lama makin terasa lelah tubuhku. Udara juga semakin dingin. Kabut tebal bertebangan di depan mataku. Penghilatanku jadi sedikit kabur dengan kehadiran kabut ini. Aku benar-benar tak sempat menikmati pemandangan indah ini karena saking capeknya. Aku benar-benar lelah.

Saat aku menyibakkan dedaunan yang menghalangi gerak langkahku, aku menemukan kosong pada barisan depanku. Barisan yang tadinya diisi oleh para senior. Aku celingak-celinguk dengan mempertajam mataku yang tak mau kalah dengan kabut yang semakin tebal. Aku menoleh ke belakang. Juga tak kutemukan seorangpun yang tadinya mengikutiku. Hey dimana mereka semua? Aku mulai panik. Kupercepat langkah kakiku sambil terus memasang mata.

“Hoii... kalian dimana? Senior? Jangan bercanda deh.” Teriakku dengan suara parau.

Aku mengambil handhope dalam kantong jaketku. Ahh.. sial! Nggak ada sinyal sedikitpun. Keringat dingin langsung mengucur hebat di keningku. Rasa panik melemahkan kesadaranku. Semakin cepat aku mengayunkan kedua kakiku. Sesekali sedikit berlari sambil terus menyebut nama para senior satu persatu. Tapi hasilnya nihil. Tak ada tanda-tanda seorangpun yang melintas di dekatku. Aku menggigil ketakutan. Air mataku ingin keluar. Aku ingin menangis. Aku benar-benar takut.
Bukk! Aku terjatuh tiba-tiba. Kakiku tersandung oleh sesuatu. Aku celingukan panik mencari benda yang menyebabkanku jatuh. Tanganku meraba-raba ke tanah. Kutemukan sesuatu yang menancap di tanah. Penglihatanku semakin kufokuskan memandang benda itu. Sebuah kayu! Kayu panjang yang tertancap di tanah. Jumlanya dua buah. Satu lagi berada di seberang sana. Mungkin hanya berjarak sekitar dua meter. Lalu di antara kayu yang menancap itu terdapat gundukan tanah. Hey ini seperti ...

“Huaaaaaa....” jeritku takut.

Aku langsung bangkit dan berlari sekenanya. Rasa takutku makin parah. Kali ini dua kali lebih panik dari yang tadi. Tapi tunggu! Rem kaki kutarik. Aku berhenti dan berbalik. Tubuhku kuputar kembali lalu mataku menatap satu makam yang belum hilang dari sudut pandanganku. Pelan aku mendekati makam itu dengan rasa takut. Tapi rasa penasaranku lebih menang melawan ketakutanku. Coba bayangkan bukankah terlalu aneh ada makam di tengah hutan begini? Aku semakin dekat dengan makam itu. Sesampainya aku berjongkok. Ku genggam salah satu nisannya. Lalu mataku mencoba mengeja deretan huruf yang tertulis di sana. Rinto Adhiwana. Nama yang tertulis di nisan itu. Mataku terbelalak kaget. Pantatku seketika jatuh ke tanah. Kedua telapak tanganku bertumpu menopang tanganku. Kuseret tubuhku menjauhi makam itu.

“Ayah? Ini Cuma mimpi kan? Iya, ini Cuma mimpi.” aku menangis meraung-raung.

Tubuhku melonjak terduduk seketika di atas tempat tidurku. Aku terbangun dari tidurku. Nafasku tersengal tak karuan. Keringat menghujani keningku. Ku buang pandanganku mengelilingi sudut kamarku. Sinar matahari mulai mengintip di balik korden kamar. Hari sudah pagi rupanya. Dan ternyata kejadian itu cuma mimpi. Ku atur nafasku perlahan. Ku hembuskan perlahan hingga pikiranku tenang. Lalu ku teguk air putih sisa dari tadi malam yang kugunakan untuk meminum obat tidur.

“Cuma mimpi.” gumamku lega.

Baru sejenak aku menghembus nafas lega, tiba-tiba terdengar pintu kamarku yang dibanting dengan keras. Bi inah, salah satu pelayanku menghampiriku dengan garis wajah yang panik. Dia langsung mendekatiku. Dia menatapku seolah ada hal yang ingin diberitahukan. Tapi nafasnya masih belum teratur. Mungkin dia habis berlari tergesa-gesa menuju kamarku ini.

“Ada apa bi?” tanyaku heran.
“Tuan, non. Tuan...”
“Iya, ayah kenapa?”
“beliau, beliau..”
“Kenapa? Ayah sudah pulang ya?”
“Tadi bibi dapat kabar dari bandara, kalau pesawat yang ditumpangi tuan terjatuh dan sekarang saat ini tim SAR lagi mencari para korban.”

Air mataku seketika meleleh dengan mudah di mataku.

"Ayahhhh!!!!"



Read more...

Cerpen "Antara Aku, Kamu dan Kakakmu" by Icha

0 komentar
Genre : Persahabatan, Komedi

“Gila...!!! lo habis berapa pulsa, Jean?” seoloroh Zaky begitu melihat outbox-ku yang penuh.
“Cuma lima puluh pesan kaliii... nggak usah lebay gitu deh!” jelasku sambil mendengus kesal.

Aku menyambar ponselku yang digenggam Zaky. Kutekuk mukaku begitu ingat kelakuan bodohku yang saking paniknya melihat Alvin mengamuk. Seminggu ini aku sibuk mencari cara untuk mendapatkan maaf dari Alvin. Dari berkunjung ke rumahnya, tapi dia selalu menolak bertemu denganku. Lalu menyapanya di sekolah, aku cuma dapat tatapan sinis. Menelepon pun tak pernah di angkatnya. Apalagi waktu ku SMS ke nomor ponselnya, hingga saat ini tak ada balasan SMS darinya. Maklumlah dia adalah sahabatku sejak kecil. Aku tumbuh bersama Alvin dan Zaky. Sekitar sepuluh tahun kami sudah bertetangga. Rasanya ada yang hilang jika tak ada dia. Tapi kenapa dia tak mau mengerti alasanku sih? Aku jadi kesal.

“Nona manis jangan ditekuk gitu dong mukanya! Jelek tau!” Cibir Zaky membuatku tambah kesal.
“Hey, tuan tampan, adikmu itu bener-bener kejam deh! Aku nggak diberi waktu buat jelasin semuanya.”

Zaky mengangkat bahunya lalu tangannya bergerak ke atas ketika pelayan kantin berteriak bahwa pesanan kami sudah siap. Si pelayan kantin langsung menghampiri meja kami. Diletakkannya dua mangkuk mi ayam dan dua gelas jus jeruk. Lidahku langsung meleleh melihatnya. Rasa kesalku ikut mencair seperti jus jeruk ini. Tanpa ba-bi-bu aku menyantap makanan yang sudah tersaji.

“Stop dulu aja. Luka itu bakal sembuh oleh waktu. Kalau nanti sudah reda situasinya, baru kamu minta maaf sama Alvin.”

Aku menghentikan laju makanku. Kemudian menatap Zaky dengan serius. Sedangkan yang kutatap malah berbalik menyantap mi ayamnya. Ok, aku tak peduli jika tatapan kami tak bertemu saat berbicara.

“Mana bisa tenang kalau belum dapat maaf. Mending lo nasehatin adek lo kalau cinta itu nggak bisa dipaksa.”

Zaky mendongak dengan mie yang masih tertempel bibirnya. Lalu dia selesaikan sisa-sisa mie-nya masuk dalam mulutnya. Sekarang gantian aku yang melanjutkan menikmati santapanku.

“Masa lo nggak tau kalau Alvin cemburu sama kita berdua?” tanyanya polos.

Mie ayam dalam tenggorokanku rasanya mau keluar setelah mendengar ucapan Zaky. Aku tak menyangka kalau Alvin sampai berpikir seperti itu. Batuk langsung menyerang tenggorokanku. Zaky dengan cepat mengambil tissu dan mengusapkannya ke bibirku. Tapi kutolak uluran tangannya yang hampir menyentuh bibirku. Aku lebih memilih meneguk jus jerukku.

“Yang gue butuhin minuman bukan tissu!” teriakku dongkol.
“Lo diajak romantis gk seru.”
“Lo aja yang bego!”
“Gue bingung sama selera Alvin.”
“Maksud lo?”
“Gue sih nggak bakal naksir sama cewek urakan kayak lo. Amit-amit tujuh turunan deh!”

Spontan aku langsung menjitak cowok rese ini. Dia berteriak kesakitan. Aku cekikikan puas melihatnya mengusap-usap jidatnya. Dia balas dengan mengumpatku kesal. Aku makin geli melihatnya. Tapi beberapa menit kemudian, kerutan di dahi Zaky akibat kesal padaku mengendur begitu pandangannya beralih. Dia menatap Alvin yang berdiri di ambang pintu kantin. Aku saja baru menyadarinya kalau Alvin ternyata memperhatikan kami daritadi. Aku menelan ludah berat. Ini sih bakal jadi salah paham yang lebih membuatnya marah. 

“Good luck ya..” Zaky berbisik padaku sambil nyengir kuda.

Aku kesal tapi perhatianku lebih tertarik pada sosok Alvin. Ketika pandanganku beradu dengannya, dia langsung ngeloyor pergi. Aku bangkit dari tempat dudukku dan mengejarnya. Hampir saja aku melompati tembok kantin yang tingginya hanya sekitar satu meter. Kalau saja aku tak memakai rok abu-abuku ini, mungkin aku sudah khilaf jadi tom raider. Aku coba memanggil namanya tapi dia tak menoleh. Langkah kakinya malah semakin cepat berlari. Kupacu lagi kecepatan kakiku. Akhirnya di lorong tempat parkir aku berhasil menangkap tangannya.

“Vin, dengerin dulu.” Rengekku begitu dia menghentikan langkahnya. Dia menoleh padaku. 

Tatapannya lagi-lagi sinis. Aku tak tahan melihatnya.

“Apa?” sambutnya ketus.
“Sumpah, gue nggak ada apa-apa sama Zaky.” Jari telunjukku dan jari tengahku langsung menyembul di sela genggaman telapak tanganku.
“Udah deh. Gue nggak mau liat lo lagi.”

Alvin menghempaskan tangannya dari genggamanku dan meninggalkanku pergi. Aku ingin memanggilnya tapi di sela keinginanku untuk mengejar maaf, aku teringat kata-kata Zaky. Luka akan sembuh oleh waktu. Mungkinkah itu? kucoba mematuhi kata-kata itu sambil terus berdoa persahabatanku dengan Alvin bisa kembali lagi. Aku putuskan untuk menunggu Alvin. Aku selalu berdoa Alvin akan menyerah mempertahankan amarahnya.

Dua bulan berlalu, formasi persahabatanku masih terpaku pada Zaky. Ya, Alvin masih marah padaku. Berkali-kali Zaky menggodaku agar aku menerima cinta Alvin, tapi aku mantap menggelengkan kepalaku. Bukan karena aku populer di sekolah dan bisa memilih cowok yang lebih sempurna dari Alvin, atau mungkin seperti yang digosipkan di sekolah kalau aku tak tertarik pada cowok. Semua itu tak benar. Aku hanya memandang Alvin sebagai sahabatku. Tidak pernah lebih dari itu.

Sepulang sekolah seperti biasanya, aku menarik tangan Zaky untuk pulang bareng sebelum keduluan dengan Winda, gebetan Zaky baru-baru ini. Aku tak mau kalau dia merayu Zaky agar diantarkan pulang sedangkan aku melongo pulang sendirian menunggu angkutan umum. Lumayan-lah walau Zaky bukan anak konglomerat tapi dia sudah diberi kepercayaan untuk mengendarai motor. Biasanya sih aku pulang bareng Alvin. Dia juga menggandeng motor untuk pulang sekolah. Dan jelas sekali sekarang aku tak bisa merengek kepada Alvin.

“Jean!” Tiba-tiba ada yang memanggilku. Aku kenal suara ini. Bahkan sangat mengenalnya. Secepat kilat aku menoleh ke sumber suara itu.
“Alvin!” teriakku kompakan dengan Zaky.
“Hey, Kak!” Sapanya kepada Zaky ketika dia sudah tepat di hadapanku.
“Boleh pinjam Jeany?” tanyanya sambil memberi kode pada kakaknya lewat tatapannya.
“Nggak perlulah, Vin. Gue tau yang bakal lo bicarain dan gue juga terlibat.”

Alvin terdiam. Aku dan Zaky ikut membisu. Alvin menggaruk kepalanya tampak bingung. Aku dan Zaky kompakan mengerutkan dahi ikut bingung.

“Gue minta maaf kalau sikap gue kekanak-kanakan banget beberapa hari ini.”
“Tuh kan gue bilang apa, tinggal tunggu waktunya aja.” Zaky berbisik kepadaku. Aku melotot dongkol kepadanya.
“Jadi kita sahabatan lagi?” Aku mengulurkan tanganku lalu Alvin menyambutnya dengan menggenggam tanganku. Kami bersalaman. “Makasih, Vin.”
“You are welcome.” Katanya tersenyum tipis.

Sahabatku kembali lagi. Formasi persahabatan kami telah utuh. Aku, Alvin dan Zaky. Benar-benar sempurna. Aku tersenyum gembira. Zaky pun ikut senang melihatku tersenyum lega. Dia mengusap kepalaku. Lembut. Kami bertiga berjalan bersama menuju tempat parkir. Yah, kali ini aku bisa membonceng Alvin lagi dan tak perlu khawatir naik angkot lagi.

“Ngomong-ngomong kalian kenal Winda nggak?” Alvin membuka pembicaraan.

Aku dan Zaky menoleh kompak ke arah Alvin. Rasanya aku mencium bau yang tak enak lewat pembukaan percakapan ini.

“Kenapa?” Alvin kelihatan bingung.
“Emang ada masalah apa sama Winda?” tanya Zaky penasaran.
“Dia temen les gue. Gue baru tau kalau Winda juga sekolah di sini.”
“Terus?” tanya Zaky makin penasaran.
“Cantik ya anaknya. Pertama kali ketemu di tempat les rasanya gue naksir sama tuh cewek. Udah sebulan ini gue cari tau tentang dia. Kali aja kalian juga tau.”

Ouh!!! Jadi dia minta maaf sama aku karena ada gebetan baru? Bukan seperti yang dibilang Zaky kalau luka bakal sembuh oleh waktu? Ternyata aku harus meralat teori itu. Sudah jelas yang lebih tepat, luka bakal sembuh oleh GEBETAN BARU. Ok, itu semua bukan masalah bagiku. Apapun alasan Alvin memaafkanku, aku sudah lega persahabatan kami kembali. Yang jadi masalahku sekarang adalah Zaky. Aku mengintip ke arahnya. Kurasakan aura api cemburu di sekujur tubuhnya. Aku bergidik ngeri. Alvin yang tak menyadari itu dengan santai menceritakannya kisah cintanya. Firasatku langsung muncul. Sebentar lagi akan ada perang saudara. Aku langsung geli membayangkannya. Kudekatkan tubuhku menempel ke arah Zaky.

“Zaky, good luck ya.” Bisikku sambil nyengir kuda.
Read more...

Gelar Kebangsawanan Inggris

0 komentar
Konnichiwa!

Kali ini saya ingin membahas tentang tingkat gelar kebangsawanan Inggris.

Berawal dari hobi saya membaca komik lalu suatu ketika ketemu sama komik berjudul "Black Buttler" atau yang lebih dikenal "Kuroshitsuji". Saya suka banget sama komik ini. Pernah saya bahas di postingan sebelumnya sinopsis dari komik ini. Komik yang berlatar-belakang kerajaan inggris ini, tidak jarang menyebut istilah-istilah kebangsawanan Inggris, seperti pada tokoh utamanya Earl Phantomhive. Nama Earl adalah contoh dari gelar kebangsawanan Inggris yang menempati posisi ketiga. Dari ini semua saya tertarik mencari tahu arti dan gelar lainnya yang ada di kerajaan Inggris. Berikut lima tingkat gelar kerajaan Inggris.


1. Duke
an gelar tertinggi dari lima tingkat gelar dalam kebangsawanan Inggris. Gelar ini berasal dari bahasa Latin yaitu ‘Dux’, yang berarti ‘pemimpin’, sebuah istilah yang digunakan di Kekaisaran Romawi untuk merujuk kepada seorang komandan militer yang tidak memiliki pangkat resmi (terutama yang berasal dari Jerman atau Celtic), yang kemudian menjadi sebutan bagi pemimpin komandan militer dari sebuah Provinsi di Kekaisaran Romawi.
Jika seorang Duke juga merupakan anggota angkatan bersenjata, pendeta atau duta besar, pangkat atau jabatan mereka mendahului gelar kebangsawanannya. Misalnya, “Major-General Duke of …”. Seorang wanita yang diberi gelar Duke atau istri dari seorang Duke selalu disebut Duchess. Dalam dokumen legal, para Duke itu disebut sebagai “Most Noble William Edward Duke of …”.
Di Inggris, gelar yang berkenaan dengan Duke yang telah diberikan dalam keluarga Kerajaan yaitu Duke of Cornwall, Duke of Lancaster, Duke of Clarence, Duke of York, Duke of Gloucester, Duke of Bedford, Duke of Cumberland, Duke of Cambridge, Duke Rothesay, Duke of Albany, Duke of Ross, Duke of Edinburgh, Duke of Kent, Duke of Sussex dan Duke of Connaught and Strathearn.

2. Marquess
Gelar kedua setelah Duke adalah Marquess. Seorang wanita dengan pangkat dari Marquess, atau istri Marquess, disebut Marchioness. Perbedaan yang sebenarnya dari gelar Marquess dan gelar kebangsawanan lainnya dalam lebih beberapa tahun terakhir ini menjadi agak tidak jelas. Di masa lalu, perbedaan antara Marquess dan gelar bangsawan lainnya yaitu letak tanah kekuasaan Marquess terdapat di perbatasan Kerajaan. Karena itu, seorang Marquess dipercaya untuk mempertahankan dan membentengi Kerajaan terhadap Kerajaan tetangga yang menjadi musuh Kerajaan.
Sebuatan Lord atau Lady merupakan sapaan yang benar buat mereka. Saat ini ada 34 Marquess di Inggris Raya. Marquess terkemuka Inggris adalah Marquess of Winchester, gelar yang diberikan pada tahun 1551 (meskipun ia sesungguhnya tinggal di Afrika Selatan). Sementara Marquess terkemuka di Skotlandia adalah Marquess of Huntly yang diberikan pada tahun 1599.

3. Earl/Countess
Earl atau Countess (untuk gelar Earl pada wanita) menempati peringkat ketiga dalam gelar kebangsawanan. Earl pada awalnya berfungsi sebagai Gubernur Kerajaan. Mereka mengumpulkan denda dan pajak dan sebagai imbalannya mereka akan menerima sepertiga dari uang yang mereka kumpulkan. Dalam masa perang mereka juga akan memimpin tentara Raja.
Sebuah Earl memiliki gelar “Earl of …” ketika gelar tersebut berasal dari nama tempat, atau “Earl …” ketika gelar tersebut berasal dari nama keluarga. Seorang Earl biasa disapa sebagai Lord, dan istrinya disapa Lady. Sedangkan seorang wanita yang memiliki gelar Countess juga menggunakan Lady, tetapi suaminya tidak memiliki gelar kecuali ia mempunyai gelarnya sendiri.
Putra tertua dari Earl berhak untuk menggunakan gelar Courtesy. Anak yang lebih muda dijuluki “The Honourable …”, dan putri mereka dipanggil “Lady …”. Lady Diana Spencer adalah contoh yang terkenal dari kasus ini.
Gelar Earl sendiri sudah ada sejak zaman Raja Canute (abad 10). Saat ini ada 191 Earl (tidak termasuk Earl of Wessex, Pangeran Edward) dan Courtesy Earldoms serta empat Countess. Earl terkemuka Inggris dan Irlandia adalah Earl of Shrewsbury dan Waterford (saat ini Charles Henry John Benediktus Crofton Chetwynd Chetwynd-Talbot).

4. Viscount (Viscountess)
Istilah Viscount dikenal untuk digunakan dalam bahasa Inggris sejak 1387, berasal dari Bahasa Prancis Visconte. Gelar ini berasal dari masa kekaisaran Romawi, yang merujuk pada kepala polisi daerah. Di Inggris pemberian gelar ini tercatat pertama kali pada tahun 1440, pada masa Raja Henry VI diangkat menjadi Raja Inggris dan Perancis. Dia ingin menyatukan ke dua negara dengan mengangkat John Beuamont sebagai Viscount Beaumont di Inggris dan Viscount Beaumont di Perancis.

Di Inggris penggunaan gelar Viscount juga sebagai gelar kehormatan bagi ahli waris dari Earl atau Marquess. Sebagai contoh adalah putra Earl of Wessex yang diberi gelar Viscount Severn. Viscount disebut sebagai lord ketimbang Viscount X sementara istrinya disebut Lady.



5. Baron
Baron merupakan peringakat terakhir dalam gelar kebangsawanan Inggris. Kata itu dalam Bahasa Latin ‘Baro’ yang berarti ‘orang bebas’. Seorang wanita dengan gelar Baron disebut Baroness. Raja William I memberikan Gelar Baron sebagai peringkat di Inggris untuk orang-orang yang telah berjanji kesetiaan mereka kepadanya.
Pada abad 13 para Baron dipanggil oleh Raja untuk menghadiri sidang Penasehat atau Parlemen. Ada 426 baron yang turun temurun diwariskan dalam Majelis Tinggi Parlemen Kerajaan Inggris, selain juga yang dianugerahkan oleh Ratu kepada mereka yang telah dianggap berjasa. Baron pertama yang secara resmi diberi gelar adalah John Beauchamp de Holt. Ia menjadi Baron Kidderminster dan gelar itu diberikan oleh Raja Richard II tahun 1387. Sapaan bagi seorang baron cukup sebagai lord. Sorang baroness disebut lady. Gelar Baron atau Baroness hanya digunakan dalam dokumen-dokumen hukum atau formal. Untuk sebutan mereka akan disapa dengan Lord atau Lady

Read more...